Mengenai Saya

- kamar009
- metro, bandar lampung, Indonesia
- calon haji 2018 calon punya istri cantik & soleh calon guru profesional dan teladan 2012 tersenyum,memberi dan menatap dengan hati

Membangun Ekonomi Berbasis UMKM
Oleh Asri Al Jufri
Oleh Asri Al Jufri
Suara Karya: Rabu, (23-03-'05)

Pencanangan Tahun Keuangan Mikro Indonesia (TKMI) 2005, oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 26 Februari 2005, merupakan salah satu bentuk pengakuan pemerintah terhadap pentingnya peranan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atau Microfinance, sebagai unsur penting dalam membantu pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal tersebut juga tampak jelas dari tema TKMI 2005: "Bersama UMKM, Kita Bangun Ekonomi Indonesia".
Menurut hasil penelitian Investment Business Advisory Service (IBAS), dari 42 juta UMKM, hanya sekitar 13 persen yang telah akses ke perbankan, sedangkan 87 persen masih mengandalkan modal sendiri. Dari 13 persen itu, umumnya tergolong usaha menengah dengan kondisi usaha yang relatif lebih baik, baik segi manajemen, prospek usaha, maupun kualitas SDM (sumber daya manusia) dan teknologinya. Selain itu, tingkat kebutuhan pembiayaannya juga relatif lebih besar, sehingga cukup ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Bagaimana dengan usaha mikro dan kecil, apakah harus dibiarkan tanpa sentuhan dari perbankan dan lembaga keuangan lainnya?
Dari pengalaman masa lalu, di mana perbankan pernah diwajibkan untuk mengalokasikan 20 persen kreditnya untuk UMKM, ternyata hanya beberapa bank saja, seperti Bank Pembangunan daerah (BPD) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang mampu mencapainya. Secara keseluruhan, target 20 persen kredit untuk UMKMK itu tak pernah tercapai. Dari pengalaman tersebut tampaknya pembiayaan untuk usaha mikro dan kecil (UMK) tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada perbankan, karena ada kesenjangan yang cukup jauh antara perbankan dengan UMK. Perbankan, dalam hal ini bank-bank umum memang tidak dirancang untuk melayani pelaku ekonomi di level grass root (akar rumput) itu. Dalam hal ini, ada ketidakcocokan antara karakter bank dengan UMK yang menjadi nasabah atau calon nasabahnya.
Untuk itu dibutuhkan lembaga keuangan yang secara "naluriah" memang cocok dengan UMK dengan segala keunikannya. Sebetulnya lembaga keuangan itu sudah ada dan sudah lama akrab dengan para pelaku UMK di desa-desa, yaitu berupa Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Berbagai jenis LKM yang selama ini sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat, antara lain seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), dan berbagai jenis Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Berbagai jenis LKM itu telah membuktikan kemampuan dan ketangguhannya dalam membantu membiayai UMK yang tersebar di desa-desa.
Sehubungan dengan TKMI 2005 ini, sudah sewajarnya keberadaan LKM mendapatkan perhatian yang lebih besar, sehingga mampu memberikan konstribusi yang optimal dalam upaya pengentasan kemiskinan. Banyak hal yang menjadi keunggulan LKM dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya, khususnya perbankan. LKM dinilai lebih akrab dan dekat dengan masyarakat di sekitarnya. Kedekatan itu tidak saja secara fisik di mana tempat pelayanannya lebih mudah dijangkau oleh masyarakat, tetapi juga kedekatan batin berupa hubungan inter-personal antara pengurus, pengelola, dan karyawan LKM dengan nasabah dan calon nasabahnya. Malahan LKM di Bali merupakan bagian dari kelembagaan adapt dan diatur secara adat, sehingga keberadaannya sangat dihargai oleh masyarakat adat tersebut.
Kedekatan antara LKM dengan masyarakat juga tercermin dari pola pengelolaannya yang dianggap lebih cocok seperti sistem jemput bola dan pembiayaan kelompok. Dalam sistem jemput bola, misalnya, petugas LKM akan datang langsung ke nasabah guna melakukan transaksi, baik untuk simpanan, peminjaman, pengangsuran, sekaligus pembinaan. Dengan pola pelayanan seperti ini akan membantu mendisiplinkan nasabah tanpa harus mengganggu kesibukan mereka dalam menjalankan usahanya sehari-hari. Satu hal yang penting, petugas LKM tidak hanya memberikan layanan keuangan, tetapi juga layanan manajemen, seperti memberi informasi pasar, informasi bahan baku, dan hal lain menyangkut pengelolaan usaha, serta pemecahan masalah yang dihadapi oleh nasabah.
Namun di balik keunggulan LKM itu, juga harus diakui adanya beberapa kelemahan, antara lain:
Pertama, keterbatasan sumber dana. Bagi LKM, dana merupakan hal yang sangat penting, bukan saja untuk membiayai segala aktivitasnya, tetapi juga menjadi komoditas utama sebagai lembaga pembiayaan. Selama ini, LKM hanya mempunyai dua sumber dana utama yaitu modal dan dana masyarakat. Baik modal maupun dana masyarakat yang dihimpun dari tabungan dan deposito jumlahnya terbatas. Umumnya modal BPR hanya sekitar Rp 100 sampai Rp 200 juta, sedangkan untuk penghimpunan dana masyarakat, LKM harus bersaing, baik sesama LKM maupun dengan bank umum.
Kedua, biaya overhead yang tinggi. Karena nasabah yang ditangani LKM adalah nasabah kecil, maka biaya operasionalnya juga tinggi, yang akhirnya akan berdampak pada tingkat bunga kredit.
Ketiga, tingginya risiko kredit. Umumnya nasabah kecil belum cukup profesional dalam mengelola usahanya, lebih lagi bagi mereka yang baru memulai usaha. Hal tersebut tercermin dari sistem administrasi yang belum teratur, pengetahuan bisnis yang masih terbatas, dan kadang terlalu mudah berpindah-pindah jenis usaha.
Keempat, masih rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di LKM, baik di jajaran pengelola maupun karyawan. Kadang LKM masih dikelola langsung oleh pemilik, yang tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang perbankan. Kualitas karyawannya juga rendah karena LKM tidak mampu untuk menggaji karyawan yang berpendidikan tinggi atau sudah berpengalaman.
Untuk lebih mengoptimalkan peran LKM di masa yang akan datang, maka selain lebih mengaktualisasikan kekuatan-kekuatan yang dimiliki, juga harus dilakukan pembenahan guna mengurangi berbagai kelemahan. Berbagai langkah yang perlu dilakukan, antara lain:
Pertama, perlu adanya sumber dana alternatif selain modal dan dana masyarakat. Salah satu sumber daya yang potensial adalah melakukan kerjasama dengan dengan bank umum, baik melalui channelling, rekening korang bank umum di LKM, maupun pola-pola kerjasama lainnya. Selain itu juga perlu dipikirkan kemungkinan menempatkan sebagian dari dana penyisihan laba BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang selama ini belum menyentuh LKM. Langkah lain, bisa berupa bantuan KLBI (Kredit Likuidasi Bank Indonesia) untuk program-program kredit kecil yang melibatkan LKM.
Kedua, guna mengurangi persaingan yang kurang sehat, baik sesama LKM maupun antara LKM dengan bank umum, maka penyebaran LKM perlu diatur, agar lebih merata. Selama ini pemerintah telah menerapkan kebijakan mengenai permodalan di mana untuk lokasi yang sudah banyak LKM-nya, disyaratkan permodalan yang lebih tinggi. Tampaknya perlu juga diatur mengenai syarat pendirian kantor, khususnya bagi bank-bank umum, yang selama ini dirasakan sangat mengancam keberadaan LKM. Konflik yang terjadi antara BPR (Perbarindo) dengan Danamon Simpan Pinjam (DSP) merupakan contoh aktual akan pentingnya pengaturan itu.
Beberapa langkah itu tentunya baru sebagian dari alternatif agenda yang perlu menjadi pemikiran. Kalau itu bisa dilakukan tentu akan menjadi angin segar bagi kalangan LKM untuk lebih memacu peran strategisnya dalam pengembangan ekonomi pedesaan. Selain itu, tentunya juga harus disertai dengan pembenahan di intern LKM itu sendiri, seperti kualitas SDM, pola kerja yang lebih profesional, serta komitmen untuk memajukan dan berkembang bersama-sama UMKM. ***
(Drs Asri Al Jufri, MSi, pengurus DPP HIPPI dan DPP AMPI,
anggota Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi dan UKM, DPP Partai Golkar).
anggota Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi dan UKM, DPP Partai Golkar).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar